BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat adalah merupakan ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat
segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat
atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Pada kenyataannya banyak sekali
orang yang enggan untuk berfilsafat bahkan berfikir filsafati. Dahal dengan
kita berfikir filsafatt, maka kita akan mengetahui kebenaran suatu hal yang
sudah kita ketahui dengan kebenaran yang hakiki. Sehingga pengetahuan manusia
akan suatu kebenaran tersebut terbatas dan tidak berkembang dengan pemikiran
yang lain. Karna filsafat adalah suatu
titik penemuan tentang hakikat kebenaran yang sudah ada namun ingin
dikebangkan lebih mendalam tanpa adanya ujung dari kebenaran ayang ada karna
penyelanyesaian masalah dalam filsafat itu bersifat mendalam dan universal.
Jika dibandingkan antara filsafat dengan pengetahuan tentang suatu
ilmu atau pelajaran, maka berfikir filsafat adalah lebih unggul. Karena
penarian kebenaran dari filsafat tidak ada habisnya sedangkan berfikir tentang
pengetahuan suatu ilmu itu hanya berujung pada pengetahuan itu saja. Maka dari
pada itu berfilsafat akan menjadikan kita terus dan terus berfikir tentang
suatu hakekat kebenaran yang sudah kita ketahui.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian filsafat dan berfikir filsafati itu?
2.
Bagaimanakah
karakteristik berfikir filsafati itu?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian filsafat dan berfikir filsafati
2.
Mengetahui
karakteristik berfikir filsafati.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Pengetahuan Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak
dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat
orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu ( Hatta, Alam
Pikiran Yunani, 1966, 1:3 ).
Langeveld juga berpendapat
seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa
filsafat itu, maka dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat
itu ( Langeveld, Menudju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9 ).
Poedjawijatna ( Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974: 11)
mendefinisikan filsafta sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab
yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka.
Hasbullah Bkry ( Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat
sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan
bagaimana sikap manusia itu seharusnya mencapai pengetahuan itu.
Apa yang diingatkan
oleh Hatta dan Langeveld memang
ada benarnya. Kita sebenarnya tidak
cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak
empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan
bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically ( Joe
Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, 1960:3 ). D.C.
Mulder ( Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966: 10 ) mendefinisikan filsafat
sebagai pemikiran teorirtis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. [1]
Sedangkan filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein
yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti
cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar,
atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau
kenenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang
sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian
umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu
untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat.
Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau
inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini, jawaban yang akan diberikan
berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai
dengan arti filsafat menurut kata-katanya. Sementara itu pengertian khusus
filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai pendapat tentang arti
filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang
filsafat anatara lain:
a.
Rasionalisme
yang mengagungkan akal
b.
Materialisme
yang mengagungkan materi
c.
Idealisme
yang mengagungkan idea
d.
Hedolisme
yang mengagungkan kesenangan
e.
Stoikisme
yang mengagungkan tabiat saleh
Aliran-aliran tersebut mempunyai kekhususan masing-masing,
menekankan kepada sesuatu yang dianggap merupakan inti dan harus di beri tempat
yang tinggi misalnya ketenangan, kesalehan, kebendaan, akal dan idea.
Dari beberapa
pendapat tersebut, pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi seperti berikut:
a.
Filsafat
adalah hasil yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
b.
Filsafat
adalah hasil fikiran manusia yang paling dalam
c.
Filsafat
adalah refleksi lebih lanjut dari pada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih
lanjut ilmu pengetahuan
d.
Filsafat
adalah hasil analisia dan abstraksi
e.
Filsafat
adalah pandangan hidup
f.
Filsafat
adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan memyeluruh. [2]
1.
Struktur
Filsafat
Hasil berfikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah
berkumpul banyak sekali, dalam buku tepal maupun tipis. Setelah disusun secara
sistematis, itulah yang disebut sistematika filsafat. Filsafat terdiri atas
tiga cabang besar, yaitu: ontoligi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang
itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:
a.
Ontologi,
membicarakan hakikat ( segala sesuatu ) ini berupa pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu
b.
Epistemologi
cara memperoleh pengetahuan itu
c.
Aksiologi
membicarakan guna pengetahuan itu.
Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat
masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi,
Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.
Epistimologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang
membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap
cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat.
Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.[3]
B.
Karakteristik
Berfikir Filsafati: Sifat Menyeluruh, Sifat Mendasar Dan Sifat Spekulatif
1.
Berfilsafat
Sejarah kefilsafatan di kalangan filsuf menjelaskan tentang tiga
hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau keheranan,
keraguan atau kegengsian, dan kesadaran atas keterbatasan. Plato
mengatakan:’maka kita memberi
pengamatanm bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi
dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal
filsafat’.
Agustinus dan Descartes memulai berfilsafat dari keraguan atau
kesangsian. Manusia heran, tetapi kemudian ragu-ragu, apakah ia tidak ditipu
oleh panca indranya yang sedang heran?
Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk memperoleh kepastian dan
kebenaran yang hakiki. Berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah
yang kemudian disebut berfilsafat.
Berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan
keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila
manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah, terutama dalam
menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seseoarang merasa bahwa ia sangat
terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan,
maka dengan adanya kesadran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai
berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas pasti ada
sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan
kebenaran hakiki.
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu. Kepastian dimulai dari
rasa ragu-ragu. Filsafat dimulai dari rasa ingin tahu dan keragu-raguan.
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang
belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang
seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian untuk beretrusterang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah dijangkau.
2.
Sifat
Menyeluruh Berfikir Filsafati
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang
berpijak dibumi sedang tengadah kebintang-bintang, atau seseorang yang berdiri
di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah dibawahnya, masing-masing
ingin mengetahui hakikat dirinya atau menyimak kehadirannya dalam kesemestaan
alam yang ditatapnya.
Seorang ilmuan tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi
pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi
pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama, dan apakah
ilmu itu membawa kwbahagiaan pada dirinya.
3.
Sifat
Mendasar Berfikir Filsafati
Selain tengadah kebintang, orang
yang berfilir filsafati juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Dia
tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disrbut
benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Lalu
benar itu apa? Pertanyaan itu melingkar sebagai sebuah lingkaran, yang untuk
menyusunnya, harus dimulai dari sebuah titik, sebagai awal sekaligus sebagai
akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
4.
Sikap
Spekulatif Berfikir Filsafati
Tidakkah mungkin manusia menangguk pengetahuan secara keseluruhan,
bahkan manusia pun tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran
yang mendasar. Itu hanya sebuah spekulasi. Menyusun sebuah lingkaran memang
harus dimulai dari sebuah titik, bagaimana pun spekulasinya. Yang penting,
dalam prosesnya nanti, dalam analisis maupun pembuktiannya, manusia harus dapat
memisahkan spekulasi mana yang paling dapat diandalkan. Tugas utama filsafat
adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat
diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang
disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuan?
Semua pengetahuan yang ada, dimulai dari spekulasi. Dari
serangkaian spekulasi dapat dipilih buah pikiran yang paling dapat diandalkan,
yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menerapkan
kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain
berkembang atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik dan buruk,
tidak mungkin bicara tentang moral. Tanpa wawasan apa yang disebut indah atau
jelek, tidak mungkin berbicara tentang kesenian.[4]
C.
Epistemologi
Filsafat
Epistemologi membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat ( yaitu
yang difikirkan ), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (
pengetahuan ) filsafat.
1.
Objek
Filsafat
Tujuan berfilsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut
sistematika filsafat. Sistematika atau struktur filsafat dalam garis besar
terdiri atas ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti
( dipikirkan)-nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat
Pendidikan. Jiak yang difikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat
Hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dif\ikirkan? Luas
sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia
memikirkan pengetahuan jadilah ia Flisafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah
Filsafat Etika, dan seterusnya.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain.
Sain hanya meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek
lain yang disebut objek formal yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian
filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan bahwa sain meneliti objek-objek yang ada dan
empiris, yang ada tetapi abstrak ( tidak empiris ) tidak dapat diteliti oleh
sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang
mungkin ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.
2.
Cara
Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus
membicarakan ( mempertanggung jawabkan ) cara mereka memperoleh pengetahuan
filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada para filosof antara lain ialah
karena ketelitian mereka, sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih
dahulu ( dan mempertanggung jawabkan cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Berfislafat ialah berfikir. Berfikir itu tentu menggunakan akal.
Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke ( Sidi Gazalba,
Sistematika Filsafat, 11, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada
zamannya akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai
diluar batas kemampuan akal. Hasilnya adalah kekacauan pikiran pada masa itu.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? Dengan berfikir secara
mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikirannya sesuatu
yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian “dibelakang” objek
konkret itu.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak
sesuatu itu, ia mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu dikatakan
mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda tanya. Dia
tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui
sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu
mendalam bagi orang lain.
Seperti telah disebut dimuka, sain mengetahui sebatas fakta
empiris. Ini tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui dibelakang sesuatu yang
empiris itu. Ini lah yang disebut mendalam. Tetapi itu pun mempunyai rentangan.
Sejauh mana hal abstrak dibelakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang,
akan banyak tergantung pada kemampuan berfikir seseorang. Saya misalnya
mengetahui bahwa gula rasanya manis ( ini pengetahuan empirik ) dibelakangnya
saya mengetahui bahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang mengatur demikian.
Ini pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi baru satu langkahorang lain dapat
mengetahui bahwa hukum itu dibuat yang maha pintar. Ini sudah langkah kedua,
lebih mendalam dari pada sekedar mengetahui adanya hukum. Orang lain masih
dapat melangkah kelangkah ketiga, misalnya ia mengetahui sebagian hakikat
tuhan. Demikianlah pengetahuan dibelakang fakta empiris itu dapat
bertingkat-tingkat, dan itu menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat
seseorang. Untuk mudahnya mungkin dapat dikatakan begini: berfikir mendalam
ialah berfikir tanpa bukti empirik.
3.
Ukuran
Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang logis tidak empiris.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya
pengetahan itu. Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori
itu. Ukuran logis atau tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang
menghasilkan kesimpulan teori itu.
Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada
pengetahaun sain. Aegumen itu menjadi satu kesatuan dengan konklusi, konklusi
itulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada
kekuatan argumen, bukan pada kehebatan konklusi. Karena argumenitu menjadi
kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan
bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran
konklusi ditentukan 100% oleh argumennya. [5]
4.
Persoalan
Filsafat
Ada enam persoalan yang selalu menjadi perhatian para filsuf, yaitu
‘ada’, pengetahuan, metode, penyimpulan,
moralitas, dan keindahan. Keenam persoalan tersebut memerlukan jawaban secara
radikal dan tiap-tiap persoalan menjadi salah satu cabang filsafat.
1.
Persoalan
‘Ada’
Persoalan
tentang ‘ada’ (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika. Meta berarti
dibalik dan physika berarti benda-benda fisik. Pengertian sederhana dari
metafisika yaitu kajian tentang sifat paling dalam dalam dan radiakal dari
kenyataan. Dalam kajian ini para filusuf tidak mengacu kepada ciri-ciri khsus dari
benda-benda tertentu, akan tetapi
mengacu kepadaciri-ciri universal dari semua benda. Metafisika sebagai salah
satu cabang filsafat mencakup persoalan ontologis, kosmologis, dan
antropologis. Ketiga hal tersebut memiliki titik sentral kajian tersendiri.
Ontologis merupakan teori tentang sifat
dasar dari kenyataan yang radikal dan sedalam-dalamnya. Kosmologi
merupakan teori tentang perkembangan kosmos ( alam semesta ) sebagai suatu
sistem yang teratur.
2.
Persoalan
tentang pengetahuan ( knowledge )
Persoalan
tentang pengetahuan ( knowledge ) menghasilkan cabang filsafat epistemologi,
yaitu filsafat pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari akar kata
episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Dalam rumusan
yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang
fislsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula
pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
3.
Persoalan
tentang metode
Persoalan
tentang metode menghasilkan cabang filsafat metodologi. Istilah ini berasal
dari metos dengan unsur meta yang berarti cara, perjalanan, sesudah, dan hodos
yang berarti cara perjalanan, arah. Pengertian metodologi secara umum ialah
kajian atau telaah penyusunan secara sistematis dari beberapa proses dan
asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian
dan kajian ilmiah, atau sebagai penysusun struktur ilmu-ilmu fak.
4.
Persoalan
tentang penyimpulan
Persoalan
tentang penyimpulan menghasilkan cabang filsafat logika ( logis ). Logika
berasal dari kata logos ang berarti uraian, nalar. Secara umum, pengertian
logika adalah telaah mengenai aturan-aturan penalaran yang benar. Logika adalah
ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir tepat dan benar. Berfikir adalah
kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Dengan berfikir manusia telah
mengerjakan pengolahan pengetahuan yang telah didapat. Dengan mengerjakan,
mengelola pengetahuan yang telah didapat maka ia dapat memperoleh kebenaran.
Apabila seseorang mengelola, mengerjakan, berarti ia telah mempertimbangkan,
membandingkan, menguraikan, serta menghubungkan pengertian yang satu dengan
lainya. Logika dapat dibagi menjadi logika ilmiah dan logika kodrati. Logika
merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan.
5.
Persoalan
tentang moralitas ( morality )
Persoalan
tentang moralitas menghasilkan cabang filsafat etika ( ethics ). Istilah etika
berasal dari kata ethos yang berati adat kebiasaan. Etika sebagai salah satu
cabang filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal. Dalam hal
ini berarti berlaku untuk semua orang
dan setiap saat. Jadi tidak dibatasi dengan ruang dan waktu.
6.
Persoalan
tentang keindahan
Persoalan
tentang keindahan menghasilkan cabang filsafat estetika ( aesthetics ).
Estetika berasal dari kata aesthetikos yang
maknanya berhubungan dengan pecerapan indra. Estetika merupakan kajian
kefilsafatan mengenai keindahan dan ketidak indahan. Faham pengertian yang
lebih luas, estetika merupakan cabang filsafat yang menyangkut bidang keindahan
atau sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan rasa, norma-norma nilai
dalam seni. [6]
D.
Aksiologi
Pengetahuan Filsafat
1.
Kegunaan
Pengtahuan Filsafat
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya denmgan
melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori
filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat
sebagai pandangan hidup ( philosophy of life ). Dan yang paling pentimg adalah
filsafat sebagai methodology, yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapi.
Disini filsafat digunakan sebagai suatu cara atau model pemecahan masalah
secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari
sudut pandang seluas-luasnya.
Berikut ini uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan
philosophy of life. Banyak memiliki pandanagn hidup, banyak orang menganggap
philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan. [7]
a.
Kegunaan
Filsafat bagi Akidah
b.
Kegunaan
Filsafat bagi Hukum
c.
Kegunaan
Filsafat bagi Bahasa
2.
Cara
Filsafat Menyelesaikan Masalah
Sesuai dengan sifatnymenyelesaikan masalah secara mendalam dan
universal. Penyelesaian filsafata, filsafat mendalam, artinya ia ingin
mencari asal masalah. Universala artinya
filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya
penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya
cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau
yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kenenaran
yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh
akan kebenaran sejati. Pengertian umum
filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk
memperoleh kebenaran. Sedangkan berfilsafat sendiri adalah berfikir secara
mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang disebut berfilsafat. Kemudian, berfilsafat juga berarti berendah hati bahwa tidak
semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti
mengoreksi diri, semacam keberanian untuk beretrusterang, seberapa
jauh sebenarnya kebenaran yang dicari
telah dijangkau. Dengan kita berfilsafat maka kita akan lebih
menggunakan akal dan fikiran kita untuk mencari suatu hakikat dari kebenaran
yang ada dan yang sudah kita ketahui.
Selanjutnya, karakteristik
berfikir filsafat sendiri adalah meliputi
karakteristik yang bersifat menyeluruh,
bersifat mendasar, dan bahkan bersifat spekulatif. Maksudnya adalah
bahwa seseorang dalam mereka berfilsafat itu tidak hanya ingin tahu pada satu
objek saja namun ingin mengetahui seluruh objek yang belum mereka ketahui
secara filsafati. Lalu seseorang yang berfikir filsafat itu tidak mau hanya
sekedar menerima pendapat dari satu objek, namun ia ingin mengkaji dengan
sendirinya tentang hakikat kebenaran dari suatu objek kajian. Dan dalam mereka menemukan hakikat kebenaran yang
sesungguhnya, mereka membutuhkan landasan atau patokan yang menguatkan mereka
dan menjadi dasar bagi mereka atas kebenaran yang mereka peroleh dari suatu
objek kajian.
DAFTAR
PUSTAKA
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Ilmu. PT Remaja Rosdakarya. Bnadung. 2004
Soetriono, Hanarief, Rita. Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. CV Andi Offset.
Yogyakarta.
2007
[1] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
Cet Pertama, hlm., 66-68
[2] Prof. Dr. Ir. Soetriono, MP, Dr. Ir. SDm Rita Hanarief, Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian, CV Andi
Offset, Yogyakarta, 2007, hlmn., 52
[4] Prof. Dr. Ir. Soeratim, MP, Dr.ir. SRDm Rita Hanafie, MP, Op.cit, hlm., 53
[5] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Op.cit, hlm., 80-88
[6]Prof. Dr. Ir. Soeratim, MP, Dr.ir. SRDm
Rita Hanafie, MP, Op.cit, hlm., 58
[7] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Op.cit, hlm.88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar